Buku “Membongkar Gurita Cikeas” terus menuai kontroversi. Sementara sanggahan terus bermunculan, peluncuran buku pun tetap dilakukan. Setelah sebelumnya dilakukan di Yogyakarta, hari Rabu peluncuran dilakukan di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta.
Oleh karena memancing kontroversi, tidak usah heran apabila setiap momen dipakai juga sebagai arena untuk unjuk dukungan atau penentangan. Menjelang acara peluncuran di Jakarta berlangsung, kelompok yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan aksi di depan tempat acara. Mereka membawa poster yang berisi dukungan kepada Presiden yang menjadi fokus utama dari buku “Gurita Cikeas” itu serta kecaman kepada penulis buku George Junus Aditjondro yang dianggap sebagai provokator.
Dalam suasana kebebasan, pihak yang pro maupun kontra tentunya merupakan sesuatu yang biasa. Semua pihak mempunyai hak untuk sependapat atau tidak sependapat dengan tulisan yang ada dalam buku tersebut. Kita harus bisa dengan besar hati menerima perbedaan tersebut. Asal saja perbedaan itu tidak mengarah kepada persoalan pribadi, apalagi sampai menimbulkan benturan fisik.
Demokrasi memberi ruang kepada yang namanya perbedaan. Hanya saja dalam demokrasi penyelesaian perbedaan tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan. Perbedaan harus diselesaikan dengan cara berdialog. Kalau dialog tidak bisa menyelesaikan persoalan, maka jalur selanjutnya adalah melalui proses hukum.
Atas dasar itulah kita menyesalkan terjadinya insiden saat peluncuran buku “Gurita Cikeas” Apalagi insiden terjadi antara George Aditjondro dan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat, Ramadhan Pohan. Bagaimana dua orang yang seharusnya paham akan esensi demokrasi dan memiliki intelektualitas yang tinggi sampai tidak mampu mengontrol emosi.
Kita sungguh menyayangkan terutama George Aditjondro yang sampai terpancing emosinya. Sebagai tuan rumah acara, ia seharusnya bisa lebih tenang dan tidak terganggu oleh suasana yang terjadi. Apalagi Ramadhan Pohan yang ditulis dalam buku itu sebagai pihak yang menikmati “keuntungan finansial”, pasti akan mencoba meluruskan tulisan yang berkaitan dengan dirinya.
George Aditjondro boleh mengaku dirinya terganggu oleh celotehan Ramadhan Pohan yang sudah di luar konteks. Namun sebagaimana pun gangguan itu ada, tidak sepantasnya ia lepas kendali dan kemudian memukulkan buku yang ada di tangannya ke arah muka Ramadhan Pohan.
Lepas kontrolnya George Aditjondro boleh jadi memang ditunggu. Meski bukan sebagai tindakan yang sampai melukai orang, tetapi ia sudah melakukan tindakan memukul orang dengan buku. Sebagai orang politik Ramadhan Pohan mengetahui benar bahwa ia bisa menggunakan pintu masuk untuk menuntut George Aditjondro. Itulah yang memang segera ia lakukan. Dengan bekas tepisan buku yang ada di wajahnya, Ramadhan Pohan langsung melaporkan tindakan George Aditjondro ke polisi. Bahkan tidak hanya itu ia mencoba mendapatkan visum dari dokter di Rumah Sakit Jakarta.
Kasus ini bisa niscaya akan menjadi pintu masuk untuk menjerat George Aditjondro secara hukum. Para pihak yang ditulis dalam buku “Gurita Cikeas” sudah menunjukkan ketidaksenangan terhadap tulisan yang ada di dalam buku tersebut. Namun mereka tidak mau masuk ke area hukum, karena pembuktian hukum di depan pengadilan bisa melebar ke mana-mana dan malah semakin tidak terkendali. Lihat saja misalnya kasus tuduhan pembunuhan kepada mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Pada awalnya, sangat kuat dikesankan bahwa Antasari menjadi otak perencanaan pembunuhan terhadap Nasrudin Syamsudin. Namun di persidangan ceritanya bisa berbeda dengan apa yang awalnya diperkirakan.
Itu sudah bisa dilihat dari sikap yang dinyatakan oleh Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia mendukung langkah yang ditempuh Ramadhan Pohan untuk menuntut George Aditjondro ke polisi. Alasan yang dipakai Anas adalah ini bagian penting untuk menegakkan hukum dan demokrasi.
Polisi sendiri sudah mengindikasikan untuk memproses pengaduan tersebut. Kebetulan hukum di Indonesia membuka ruang bagi siapa pun menyampaikan pengaduan. Ketika pengaduan masuk, polisi harus memproses sampai kemudian polisi menetapkan untuk bisa melanjutkan atau tidak pengaduan tersebut.
Niscaya George Aditjondro akan direpotkan oleh pengaduan yang disampaikan Ramadhan Pohan itu. Ia pasti akan bolak-balik untuk diperiksa kepolisian. Ia harus menghabiskan waktu mengikuti persidangan terhadap dirinya. Belum tentu George Aditjondro memang dinyatakan bersalah. Tetapi pasti hari-hari ke depan waktunya akan habis untuk mengurusi masalah hukum daripada menjelaskan isi buku “Gurita Cikeas” ataupun rencana menulis yang lebih lengkap buku yang menimbulkan kehebohan tersebut.
Insiden itu tidak bisa lagi dihapuskan. Peristiwa itu sudah terjadi dan “kerusakan” sudah terjadi, damage has been done. George Aditjondro harus membayar tindakannya. Ironisnya bukan mempertanggungjawabkan tindakan atas tulisan yang sudah dibuatnya, tetapi atas tindakan yang tidak perlu saat peluncuran bukunya itu.
George Aditjondro harus siap untuk menghadapi perjalanan yang sangat melelahkan. Ia harus mempersiapkan tim hukum yang bisa membelanya. Sejauh ini memang beberapa pengacara muda sudah menyatakan kesiapannya untuk membela dirinya. Tinggal secara mental ia mempersiapkan diri, terutama untuk menghadapi hukum yang tidak berjarak.
Ini tentunya pelajaran berharga bagi kita semua.Sebagai manusia biasa, pasti satu saat kita akan dihadapkan pada kondisi yang tidak mengenakkan. Namun dalam kondisi apa pun, kita harus mampu untuk selalu berkepala dingin. Kita tidak boleh terpancing apalagi terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam sistem demokrasi, tindak kekerasan bukan hanya sebuah kesalahan, tetapi berpotensi untuk mendapatkan konsekuensi hukum.
sumber : http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/tajuk/2009/12/30/202/Mengapa-George-Aditjondro-Harus-Terpancing
Wednesday, December 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment