Wednesday, February 17, 2010

Memasyarakatkan Angkutan Massal di Sumatera Utara

Sri Lelawangsa bukanlah nama seorang wanita asal Jawa, melainkan nama ini hanya panggilan untuk angkutan massal Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Memang ada beberapa pengunjung di Stasiun KA Medan yang sempat berceloteh: "Kenapa namanya bukan Butet atau Bonar, kok dinamakan Sri?". Namun, celoteh ini langsung dijawab rekan di sebelahnya: "Mungkin supaya lebih memasyarakat, karena di Medan ini kan juga banyak orang Jawa."

    Nama Sri sontak begitu terkenal di seantero Kota Medan ketika Wakil Menteri Perhubungan Bambang Soesantono, Selasa (16/2), menaburkan bunga sebagai tanda diresmikannya pegoperasian KRDI untuk melayani masyarakat di rute Medan-Belawan, Medan-Binjai, dan Medan-Tebing Tinggi. Angkutan massal yang bertarif hanya Rp 3.000 ini (Medan-Belawan), menghubungkan antarmoda transportasi udara, kereta api, dan laut. Tepatnya menghubungkan Bandara Kualanamu-Stasiun KA Medan, dan Pelabuhan Belawan.

    Pembuatan rangkaian kereta oleh PT Industri Kereta Api (Inka) ini dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2009 ini. Menurut Bambang Susantono, rangkaian kerata api ini diserahkan ke PT KA untuk melayani masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya. Ini merupakan komitmen pemerintah dalam menyediakan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau.

    Didampingi Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Tunjung Inderawan dan sejumlah direksi PT KA, Bambang menyebutkan, fasilitas dari pemerintah ini sekaligus mewujudkan upaya penataan ulang sistem transportasi massal di tujuh kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Semarang, dan Makassar.

    Pastinya KRDI Sri Lelawangsa ini bukan hanya sekadar melayani masyarakat kelas menengah ke bawah, melainkan juga menarik perhatian pengguna kendaraan (mobil/motor) pribadi sehingga beralih ke angkutan KA. Dengan ini, maka dapat mengurangi beban pada jalan. Setidaknya usia jalan akan lebih panjang karena bebannya berkurang, sehingga biaya perawatan juga menurun.

    Sementara itu, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Tundjung Inderawan menuturkan, pembiayaan untuk pekerjaan pengadaan dua rangkaian KRDI ini (masing-masing senilai Rp 30,8 miliar) bersumber dari APBN 2009 dan dana stimulus untuk infrastruktur yang diterima Ditjen Perkeretaapian Kemenhub.

    Kedua rangkaian KRDI Sri Lelawangsa ini merupakan seri keenam produk buatan dalam negeri (PT Inka di Madiun).

    Sebelumnya, pemerintah (Kemenhub) telah menyerahkan lima seri rangkaian KRDI ke PT KA, yaitu Kaligung Baru yang melayani lintas Semarang-Tegal, KRDI Blora Jaya melayani Semarang-Cepu-Bojonegoro, KRDI Madiun Jaya melayani Solo-Madiun-Kertosono, dan KRDI Seminung melayani Tanjungkarang-Kota Bumi Lampung.

    Rawan

    Sayangnya, keelokan Sri Lelawangsa itu tidak semolek rute dan lingkungan sekitar yang dilewatinya. Wamenhub dan rombongan yang ikut melakukan uji coba operasional KA Sri Lelawangsa dari Stasiun KA Medan ke Stasiun KA Belawan, sempat berdesah rendah bernada prihatin.

    Rombongan menyaksikan bagaimana kehidupan warga beserta anak-anak usia balita di halaman rumah-rumah kumuh yang jumlahnya ribuan. Masyarakat ini terhampar di sepanjang ruas Medan-Belawan. Bukan hanya itu, ancaman kecelakaan juga bisa menghantui, karena jarak rel KA dengan rumah-rumah warga tersebut hanya sekitar 2 meter.

    "Kami minta PT KA melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kota Medan untuk melakukan penertiban terhadap bangunan rumah penduduk di sekitar jalur dan jaringan kereta api. Selain itu, melakukan pengamanan aset kereta api dari tindakan pengrusakan oleh oknum tak bertanggung jawab," tuturnya.

    Pada kesempatan yang sama, Pimpinan Proyek (Pimpro) KA Sri Lelawangsa M Silaen menuturkan, setidaknya ada sekitar 3.000 kepala keluarga (KK) yang menempati rumah-rumah kumuh di sepanjang rel KA ruas Medan-Belawan. Untuk melakukan penertiban, tidak cukup hanya dengan mengucurkan anggaran guna kepentingan dana kerahiman (uang pindah), tetapi juga pendekatan secara personal dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat. "Secara hukum, memang kita bisa saja mengusir mereka dari lahan itu karena rumah-rumah yang mereka bangun berada di lahan milik negara dan PT KA. Namun, mereka sudah tinggal di sana selama puluhan tahun dan turun-temurun. Jadi, sulit jika diusir begitu saja," kata Silaen.

    Menurut dia, upaya penertiban untuk mengamankan jalur KA ini bukan hanya mencakup rumah-rumah warga, melainkan juga lokasi pasar kaget. "Keberadaan pasar kaget dan pedagangnya memang membahayakan atau mengerikan karena mereka berdagang di tengah-tengah rel," tuturnya.

    Namun, apa boleh buat, KRDI Sri Lelawangsa sudah dioperasikan dan siap melayani masyarakat. Untuk menghindari kecelakaan, masinis diberikan arahan untuk mengurangi kecepatan dari 70 kilometer menjadi 40 kilometer per jam. "KRDI ini cukup istimewa karena kecepatannya cukup tinggi. Bisa di atas 110 kilometer per jam. Sayang memang tidak mungkin kita lakukan di ruas ini, bisa banyak yang celaka," katanya.

    Dia lantas mencontohkan, untuk ruas Medan-Belawan sepanjang 45 kilometer dengan kecepatan normal rata-rata 60 kilometer per jam dengan waktu tempuh 20 menit. Tapi, dengan kondisi lingkungan di jalur KA seperti ini, maka kecepatan rata-rata hanya 30 hingga 40 kilometer per jam dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Kendala lain di jalur ini terkait banyaknya lintasan sebidang sehingga masinis KA harus ekstra hati-hati. Pasalnya, setiap rumah di sepanjang rel membuat jalur lintasan sendiri.

sumber : suarakarya-online.com

No comments:

Post a Comment