Wednesday, February 17, 2010

Ramai-ramai Tolak RPM Konten Multimedia

Munculnya kembali Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia menuai kontroversi dari "penduduk-penduduk" dunia maya.

Secara tegas dan terbuka, sejumlah perwakilan pengguna blog atau bloger serta penyedia konten situs dan situs berita menyatakan penolakannya terhadap RPM. "Kami dengan tegas menolak RPM ini," ujar Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Margiono dalam keterangan pers di Hotel Akmani, Rabu (17/2/2010).

Penolakan serupa juga datang dari LBH Pers, pengelola situs jejaring sosial Kaskus, pengurus Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pengelola situs berita, pengelola blog, dan sejumlah bloger.

Mereka menilai, dengan RPM, pemerintah melihat seolah-olah internet hanya memiliki dampak negatif, tanpa mengatur sisi positifnya. Lagi pula, RPM ini terutama dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia. "Menurut kami, ini sangat bertentangan dengan kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta memperoleh informasi," ujar Kepala Divisi Non-Litigasi LBH Pers Arief Ariyanto.

Selain melanggar hak asasi, Arief juga melihat sisi legal RPM yang mengacu pada UU Pers, UU Perfilman, dan UU Keterbukaan Informasi Publik tidak sesuai terutama dalam pengaturan kelembagaan Tim Konten Multimedia.

Sebagaimana aturannya, kelembagaan harus diatur dengan UU bukan peraturan menteri. Terdapat pula sejumlah ketidakjelasan, antara lain terkait kategorisasi pornografi dan juga pihak yang dimaksud dengan penyelenggara konten multimedia.

Ketua Bidang National Internet Resources (NIR) APJII Valens Riyadi sendiri menolak RPM ini, apalagi RPM menyebutnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap konten.

"Penyelenggara jasa jaringan internet yang dikatakan (bertanggung jawab). Tapi mereka bukan penyedia konten. Jadi lucu kalau mereka yang diminta pertanggungjawabannya. Penanggung jawab konten kan adalah penulisnya," ucap Valens.

Ancam kebebasan pers

Selain itu, RPM juga dinilai mengancam kebebasan pers karena sensor mau tidak mau dan perlahan-lahan akan diberlakukan terhadap pemberitaan di sejumlah media yang sudah meluaskan lapaknya ke dunia multimedia.

Pepih Nugraha dari Kompas.com dan komunitas blog Kompasiana mengatakan, munculnya kembali RPM ini identik dengan Kepmen tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada zaman Orde Baru yang menjadi cikal bakal sikap represif terhadap pers dengan pembredelan.

"Kami tegaskan tolak RPM karena semangatnya bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang diatur konstitusi," ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Pemred Vivanews.com Karania Dharmasaputra. Menurut Karania, RPM mengancam pers yang mengambil ranah multimedia karena negara diberi hak untuk melarang informasi dan konten multimedia yang dilarang. "Padahal, UU Pers secara tegas menyatakan tidak ada larangan sensor dan bredel. Salah satu ciri reformasi adalah kebebasan berpendapat. RPM ini langkah mundur dari cita-cita itu," katanya.

sumber : kompas.com

No comments:

Post a Comment