Wednesday, December 30, 2009

Menebak Arah Skandal Century dan Gurita Cikeas


Akan ke mana arah penyelesaian kasus Century oleh Pansus Angket DPR RI? Bagaimana pula nasib buku George Junus Aditjondro? Benarkah keduanya saling terkait dan bagian dari rekayasa besar menyembunyikan kasus yang sesungguhnya?

Ada tiga fokus perdebatan yang mengemuka dalam penelusuran kerja pansus hak angket kasus "perampokan yang canggih" oleh Bank Century.

Yang pertama, terlau dini pansus mengeluarkan rekomendasi imbauan untuk menonaktifkan Boediono dan Sri Mulyani dari jabatannya masing masing, yang notabene tidak secara proporsional membedakan kedudukan mereka saat ini dari sudut pandang ketatanegaraan kita.

Memberhentikan sementara atau menonaktifkan atau apapun namanya, posisi wakil presiden tidak dapat dilakukan kecuali tiga hal, yaitu mengundurkan diri, terlibat dalam kasus penyalahgunaan jabatan (abuse of power) yang berdampak pada perbuatan pidana dengan ganjaran hukuman yang telah mendapatkan kekuatan hukum bersifat tetap atau meninggal dunia.

Mekanisme pemberhentian lainnya adalah DPR/DPD sepakat mengusulkan adanya sidang istimewa oleh MPR bilamana kesimpulan akhir pansus membuktikan adanya pelanggaran konstitusi melalui sidang paripurna DPR/DPD.

Sementara untuk posisi menteri sesungguhnya tidak ada masalah karena itu hak preogratif presiden yang tidak boleh berlindung dari UU tentang Kementerian Negara. Artinya, kapan saja, jika presiden menganggap tidak membutuhkan lagi yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan subjektif sekalipun, dapat saja memecat seorang menteri.

Kedua, apakah benar krisis Century akan berdampak sistemik atau tidak jika saja pemerintah melikuidasi bank yang tergolong kecil itu? Atau, adakah upaya lain yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menangani kemungkinan dampak yang ditimbulkan kalau sekiranya itu langsung dihentikan operasional terlebih dahulu,

termasuk kemungkinan terjadi rush di bank tersebut atau pada bank lainnya, selain memberikan dana talangan.

Apakah dengan dana pinjaman itu tidak menyalahi Perppu dan aturan turunan lainnya?
Ketiga, kesepakatan dan negosiasi politik sudah sejak awal terkonspirasi sehingga berbagai intrik politik yang melingkupi perjalanan pansus hak angket terhadap gonjang-ganjing dana talangan tersebut semakin tidak jelas dan tampaknya rapat-rapat yang dilakukan sekarang mengindikasikan bargaining telah terjadi dan dilakukan secara intens.

Kurang lebih peristiwa ini akan senasib BLBI yang jauh lebih besar anggaran negara yang asal muasalnya dari rakyat itu yang terkuras sekitar Rp 600 triliun lebih.

Maknanya apa? Apalagi kalau bukan apapun di negara kita tercinta dan bumi pertiwi yang bernama Indonesia, pastilah tidak ada satupun masalah politik yang ujungnya selesai secara tuntas. Ia mengambang bagi gabus di atas ombak di laut yang kemudian akan terbawa arus, hilang lenyap tanpa bekas.

Dia akan menjadi referensi belaka jika terjadi hal sama di kemudian hari. Dia akan menjadi bagian dari preseden buruk untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Betapa tidak, bukti-bukti sudah mulai terkuak. Antara lain adanya pengakuan presiden bahwa kehadiran Marsilam Simanjuntak tidak dalam kapasitas utusan pemerintah untuk melakukan pemantauan terhadap rencana penanganan krisis ekonomi dan keuangan sebagai imbas dari krisis global.

Namun ada saja cara berdalih dengan mengatakan Marsilam sebagai narasumber. Pertanyannya kemudian, kepakaran apa yang dimilikinya sehingga dia menjadi narasumber.

Aspek lainnya, kehadiran Robert Tantular meski tidak berada di ruangan dan terlepas dari adanya komunikasi by phone, sebenarnya untuk apa. Sangat tidak rasional jika dikatakan untuk sesegera dan secepat mungkin mengambil keputusan jikalau ada hal yang mendesak yang harus ditempuh.

Apakah segawat itu dan mungkinkah tidak ada cara lain untuk meminta dia mengambil langkah sebagai konsekuensi dari keputusan yang akan diambil dalam rapat KSSK itu.

Juga berbagai regulasi yang dikeluarkan BI yang konon katanya tidak berhubungan langsung dengan kondisi Bank Century. Tetapi paling tidak, apakah krisis tersebut sudah sedemikian parah yang membuat negara ini kolaps seperti diutarakan Boediono di hadapan pansus?

Bukankah sebelumnya, Burhanuddin Abdullah sampai mengatakan apa dasar teori atau dari mana landasan berpikir kemungkinan adanya dampak sistemik yang ditimbulkan untuk menutup dan menghentikan operasional bank tersebut, yang bukan didasari dalam situasi stabil dan normal, seperti tanggapan Miranda Goeltom. Sama halnya yang disampaikan Anwar Nasution.

Artinya perbedaan pandangan ini menjadi salah satu hal yang perlu dikaji lebih dalam oleh pansus. Belum lagi apa yang dikemukakan oleh anggota pansus dari PPP yang mengatakan bahwa bukan saja aturan hukum sehingga keputusan tersebut kontroversi, tetapi corenya adalah sejauh apa peranan pemerintah dan BI dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan nasional.

Berbagai prediksi dari sejumlah ahli dan kelompok yang memberikan penyikapan atas kasus ini yang intinya dapat dibagi dalam tiga wajah yang saling berbeda. Ada yang mengatakan ini harus diusut tuntas dan hendaknya pansus membebaskan diri dari berbagai intrik politik yang kemungkinan justru bertolak belakang dengan harapan masyarakat.

Ada pula yang tidak percaya sama sekali terhadap pansus ini yang terlihat sejak awal gejala kepentingan politik dari partai politik dan kelompok tertentu, baik di tengah masyarakat, juga dalam pemerintahan yang memiliki ambisi tersembunyi. Satunya lagi mengindikasikan bahwa kasus ini akan hilang seiring adanya peristiwa lain yang lebih besar atau sengaja dibesar-besarkan agar kasus ini tenggelam dan pada akhirnya hilang.

Gurita Cikeas

Bagi saya, sungguh aneh, prihatin dan sedih bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UU apatah lagi dilakukan secara ilmiah dan dilengkapi data serta merta dilarang. Bagi saya, buku George Junus Aditjondro berjudul "Membongkar Gurita Cikeas", itu biasa biasa saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan apalagi harus dihentikan peredarannya hanya karena judulnya yang bombastis.

Adapun angka-angka itu, hanya prediksi, hasil olahan dari berbagai sumber bukan keadaan sebenarnya. Jadi, tidak perlu disikapi secara berlebihan yang seolah-olah mendiskreditkan orang atau kelompok. Tidak satupun dari isi buku itu yang diangkat melainkan olah pikir data dan fakta yang diperoleh yang kemudian dianalisa secara gamblang yang masih memerlukan penelusuran akan kebenarannya.

Ketika kita membaca buku, kata orang bijak, seyogianya kita tidak pernah menggunakan perasaan, tidak direcoki terlebih dahulu atas apa yang telah kita ketahui apalagi ketika baru membaca beberapa halaman lantas kita mengambil kesimpulan.

Apa yang ditulis Aditjondro itu mengajak kita dan membantu kita membandingkan informasi serta pengetahuan atas sejumlah kenyataan dan rincian angka-angka yang barangkali memperjelas kepada publik bahwa ini adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan.

Buku itu menjadi kontroversi karena ada kelompok yang keberatan, ada pula yang meragukannya dan ada juga karena ketidaktahuannya begitu saja mempercayainya. Padahal, menurut hemat saya, buku itu wajar-wajar saja. Buku itu tidak lebih sebagai bahan pembanding dan melengkapi informasi yang sudah ada dan tersebar saat ini. Tidak ada yang perlu ditakuti, khususnya siapa saja yang tersebut dalam buku itu. (**)

sumber : http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=77504

No comments:

Post a Comment