Tuesday, December 29, 2009

Pimpinan Parlemen Diminta Kembalikan "Crown"

JAKARTA — Para pimpinan lembaga perwakilan rakyat, baik MPR, DPR, maupun DPD, diserukan untuk mengembalikan Toyota Crown Royal Saloon yang menjadi mobil dinas baru "jatah" para pejabat. Hal itu disampaikan Gabungan Organisasi Non Funding atau Ganofo yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, sesungguhnya para pejabat itu bisa menolak apa yang menjadi bagian dari fasilitasnya sebagai pejabat negara. Pengadaan mobil mewah untuk para pejabat dinilai tak tepat di tengah situasi masyarakat yang tengah kesulitan secara ekonomi.

"Para pimpinan MPR, DPR, dan DPD sebagai pimpinan lembaga perwakilan rakyat harus memberi contoh. Kembalikan saja itu ke negara. Kalau mau, mereka bisa menolaknya dan bisa menjadi preseden, contoh yang baik. Sekecil apa pun, kalau dikembalikan, akan memberikan kontribusi bagi APBN," kata Sebastian, Selasa (29/12/2009), saat menyampaikan paparan refleksi akhir tahun di Jakarta.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti sepakat terhadap imbauan tersebut. Penolakan para pimpinan parlemen akan menjadi bukti komitmen mereka terhadap rakyat. "Rakyatnya masih banyak yang susah. Bermewah-mewahan hanya memperbesar gap antara penguasa atau wakil rakyat dan rakyatnya. Bawa saja ke Setneg (Sekretariat Negara), kembalikan, pajang di sana," ujarnya.

Selain itu, ia meminta KPK melakukan penyelidikan atas pengadaan sejumlah fasilitas pejabat negara yang memakan anggaran cukup besar. Harga sebuah Toyota Crown Royal Saloon ini diperkirakan mencapai Rp 1,3 miliar atau jauh di atas mobil dinas sebelumnya, Toyota Camry, yang berada di kisaran Rp 600 juta.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Indonesia Bugdet Centre Arif Nur Alam mengungkapkan, anggaran pengadaan mobil bagi para pejabat negara ini dialokasikan dalam APBN-P 2010 yang digodok oleh DPR periode sebelumnya, 2004-2009. Oleh karena itu, alasan dari pimpinan parlemen, yang menyatakan tak bisa menolak karena alasan sudah dianggarkan, tak bisa dibenarkan sepenuhnya.

"Seharusnya, pimpinan dewan masa sekarang bisa menolak karena sebenarnya mereka tidak ikut terlibat dalam penganggaran. Dalam alokasi anggaran itu bisa saja kalau mau dibatalkan. Jadi, alasan karena terlanjur dianggarkan tidak tepat," ujar Arif.

Ke depan, ia berharap ada audit dan pelaporan yang jelas terhadap keberadaan aset fasilitas pejabat negara. Selama ini, menurutnya, tidak ada keterbukaan soal nasib fasilitas yang diberikan kepada pejabat sebelumnya. Seharusnya, pada akhir masa jabatan, para pejabat negara tidak hanya diminta mempertanggungjawabkan kualitas kinerja, tetapi juga fasilitas-fasilitas yang sudah didapatkannya.

"Sebab, sering juga fasilitas negara ujung-ujungnya menjadi milik pribadi, dibeli dengan harga rendah. Seharusnya ada mekanisme yang jelas, seperti dilelang. Ini juga mengakibatkan, mindset menjadi pejabat publik itu karena alasan materi, bukan pengabdian," katanya.

sumber : http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/12/29/19465734/Pimpinan.Parlemen.Diminta.Kembalikan.Crown

No comments:

Post a Comment