Saturday, January 9, 2010

Penilaian Pendidikan - Kelulusan Sekolah Versus Perguruan Tinggi

Menjelang akhir tahun pelajaran, dunia persekolahan kita selalu dihadapkan pada dilema Ujian Nasional (UN). Walau sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penyelenggaran UN, namun Menteri Pendidikan Nasional RI Mohd Nuh tetap bersikukuh untuk tetap menyelenggarakan UN.

Akibatnya, di kalangan masyarakat muncul sikap pro dan kontra terhadap UN. Tulisan ini mencoba membandingkan kriteria penilaian (baca kelulusan) antara sekolah dan perguruan tinggi.

Kelulusan pada Sekolah

Mendiknas melalui tangan Badan Standard Nasional Pendidikan (BNSP) telah menerbitkan ketentuan standard kelulusan bagi peserta UN tahun 2010 mendatang, dari tingkat SD sampai SLTA. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari ketentuan kelulusan UN adalah kelulusan peserta UN 2010 ditentukan oleh nilai UN yang diperoleh peserta, tanpa mempertimbangan kemampuan lain yang dimiliki peserta. Ketentuan kelulusan bagi siswa tingkat sekolah adalah amat berat bila kita bandingkan dengan ketentuan kelulusan pada perguruan tinggi. Mengapa?

Dalam teori dan ilmu penilaian pendidikan, minimal ada 3 (tiga) ranah aspek/kemampuan peserta didik (siswa) yang harus dinilai untuk menentukan apakah seorang siswa layak dinyatakan lulus atau tidak lulus. Ke-3 ranah tersebut adalah aspek kognitif, affektif, dan psikomotor, yang penjelasannya, kita yakin, semua guru sudah memahaminya. Secara umum, tiga ranah penilaian pendidikan tersebut, diberlakukan pada semua tingkat dan jenis pendidikan, sejak dari SD sampai perguruan tinggi. Di tingkat sekolah, kita mengenal yang dinamakan nilai ujian harian, bulanan, tengah (mid) semester, nilai tugas-tugas,  dan akhir semester.
Untuk penilaian kenaikan kelas, semua nilai tadi menjadi bahan pertimbangan oleh setiap guru dan juga pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kehadiran, perilaku siswa, bahkan saran dan pendapat dari kolega guru dalam rapat dewan guru di sekolah.

Untuk penentuan kelulusan siswa tingkat sekolah hanya pada UN, semua nilai dan pertimbangan tentang siswa, tidak dibutuhkan. Memang ada peluang untuk tidak meluluskan siswa, yaitu pada tingkat ujian sekolah dan siswa yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk mengikuti UN. Secara nasional, sekolah yang mampu dan berani berbuat seperti itu, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Acungan dua jempol untuk kepala sekolahnya. Umumnya menjelang UN seperti saat sekarang ini, sekolah (baca kepala sekolah dan guru-guru) disibukkan dengan berbagai upaya mempersiapkan siswa-siswanya dalam menghadapi UN. Namun ada juga, sekolah yang sudah mulai susun strategi memenangkan siswa-siswa dengan prosedur dan cara yang tidak mendidik. Contoh kasus. Ada orang tua siswa menyampaikan kepada penulis atas kelulusan anaknya tahun pelajaran 2008/2009 yang lalu, nilai ijazah untuk 4 mata pelajaran mencapai 38-an. Namun sang orang tua tidak berani mendaftarkan anak pada SMA negeri. Mengapa?. Karena sang orang tua amat yakin benar akan kemampuan anaknya. Mengapa demikian? Coba tanya pada rumput yang bergoyang, kata Ebit G Ade dalam syair lagunya.

Kelulusan pada Perguruan Tinggi

Pada tingkat perguruan tinggi, untuk menentukan kelulusan mata kuliah seorang mahasiswa, umumnya menggunakan gabungan atau penjumlahan dan mengalikannya dengan bobot untuk masing-masing aspek atau komponen yang dinilai. Komponen penilaian kelulusan mata kuliah bagi seorang mahasiswa terdiri dari nilai mid semester, nilai tugas, dan nilai ujian final. Setelah dikalikan dengan bobot, hasil penjumlahan dibagi jumlah bobotnya, dan itulah nilai akhir yang diperoleh mahasiswa. Setelah melalui proses, akan diperoleh klasifikasi nilai akhir mahasiswa. Nilai akhir inilah yang menentukan kelulusan mata kuliah seorang mahasiswa.
Demikian juga untuk menentukan kelulusan seorang mahasiswa sesuai jenjangnya. Sebelum menyandang atribut sarjana, magister, maupun doktor, seorang mahasiswa diwajibkan membuat karya tulis ilmiah serta mempertahankanya pada sidang meja hijau. Pada ujian atau sidang meja hijau, umumnya yang dinilai adalah karya ilmiahnya dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji sebagai wujud aspek penguasaan mahasiswa atas karya ilmiahnya tadi. Pada momen ujian sidang meja hijau inilah, kadang-kadang (kebanyakan) sang dosen penguji mengutamakan sifat subjektivitasnya, dengan argumentasi pertimbangan-pertimbangan lain yang mengiringinya. Tidak demikian dengan kelulusan seorang siswa dari setiap jenjang pendidikan (sekolah) yang diikutinya, hanya nilai UN penentunya.

Penutup

Jika kita bandingkan sistem penentuan kelulusan pada jenjang pendidikan sekolah dengan jenjang pendidikan (perguruan) tinggi, maka -bisa dikatakan- sistem penentuan kelulusan siswa sekolah, lebih kejam dibanding  dengan penentuan kelulusan jenjang perguruan tinggi. Oleh karenanya, penulis menyarankan dan mengusulkan:

1.    Agar pihak BNSP dan Mendiknas perlu (memang seharusnya) meninjau ulang tentang penentuan standard kelulusan bagi peserta UN, karena dampak negatifnya lebih besar dibanding dampak positifnya, dan  akan menambah panjang proses pembohongan publik serta  hasil yang dicapai UN menjadi semu.

2.    Kembalikan sistem penentuan kelulusan peserta UN seperti beberapa tahun yang lalu dengan mempertimbngan nilai P (semester 5), nilai Q (semester 6) dan nilai UN. Rumus itu, serahkan kepada Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas RI. 

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menggugah hati nurani para penjabat pembuat keputusan tentang UN khususnya sebagai syarat kelulusan seorang siswa.

sumber : http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28700:penilaian-pendidikan-kelulusan-sekolah-versus-perguruan-tinggi&catid=57:gagasan&Itemid=65

No comments:

Post a Comment